Mengapa SAYA TEGA Melepaskan Mereka |
Oleh: Evi Susanti
Mengapa saya tega melepaskan mereka? Melepas anak ke
pesantren memang tidak mudah. Itu pun saya
rasakan ketika melepas sikembar (Qonita dan Salma) masuk Gontor. Saya merasa kasihan, anak sekecil itu hidup
terpisah dari orangtua dan saudara-saudaranya. Mereka harus mengurusi hidupnya
sendiri tanpa pendampingan orangtua.
Saya sebenarnya juga khawatir mereka tinggal jauh. Bagaimana makannya? Bagaimana kalau mereka sakit? Bagaimana kalau ada yang nakal? Bagaiman mereka menghadapi masa pubernya? Bagaimana kalau kesulitan belajar? Kemana mereka akan mengadu?
Tapi kekhawatiran itu dapat saya
tepis, ketika mengingat hal-hal yang menjengkelkan dari mereka. Perasaan sedih
pun hilang ketika saya mengingat bagaimana masa depan mereka tanpa agama yang
kokoh. Jika mereka paham dan berpegang teguh kepada agamanya, insya Allah
mereka akan mampu menghadapi masalah yang menghampirinya di masa depannya.
Setidaknya mereka punya rujukan jika ada masalah, yaitu agama. Hal inilah yang
membuat kekhawatiran saya hilang dan saya kuat untuk melepas mereka.
Perasaan ikhlas melepas mereka pun diperkuat dengan nasehat Kyai Hasan Abdullah Sahal (Pengasuh Pondok Pesantren Gontor). Pada suatu kesempatan beliau menyampaikan pesan yang sangat menyentuh kepada para orangtua yang hendak memondokkan anak-anaknya. Begini isi pesan beliau (semoga Allah merahmatinya):
- Kalau mau punya anak bermental kuat, orangtuanya harus lebih kuat. Punya anak itu jangan hanya sekedar sholeh tapi juga bermanfaat untuk umat, orangtua harus berjuang lebih ikhlas, ikhlas, ikhlas....
- Anak-anakmu di pondok pesantren nggak akan mati karena kelaparan, nggak akan bodoh karena nggak ikut les ini dan itu, nggak akan terbelakang karena nggak pegang gadget.
- Insya Allah anakmu akan dijaga langsung oleh Allah karena sebagaimana janji Allah yang akan menjaga Al-Qur’an, ... yakin... yakin… harus yakin.
- Lebih baik kamu menangis karena berpisah sementara dengan anakmu, karena menuntut ilmu agama daripada kamu nanti “yen wes tuwo nangis karena anak-anakmu lalai urusan akhirat... kakean mikir ndunyo, rebutan bondo, pamer rupo....lali surgo….” (kalau sudah tua menangis karena anak-anakmu lalai terhadap urusan akhirat… kebanyakan memikirkan dunia, berebut harta, pamer wajah…lupa surga…).
Benar pesan Sang Kyai, jika saya menginginkan
anak-anak bermental kuat berarti saya harus
menjadi orang pertama yang bermental kuat. Saya menyadari bahwa anak-anak itu
butuh teladan dari orangtuanya, dalam hal ini ibu. Karena biasanya ibu yang
sulit melepas anak-anaknya pergi jauh. Saya juga menginginkan anak-anak yang tidak
sekadar sholeh saja tetapi juga dapat menjadi ‘uyunul umah (mutiara
umat) yang mampu memberikan manfaat untuk kemaslahatan umat dan memiliki mental
pejuang. Keinginan tersebut semakin membuat saya kuat dan ikhlas dalam memondokkan
kedua adiknya sikembar (Aufa dan Ahmad) berikutnya.
Benar Pak Kyai, anak-anak di pesantren tidak akan mati kelaparan atau bodoh karena tidak memegang gadget. Pihak pesantren pasti memberi makan mereka, sekalipun orangtua belum bayar uang makannya. Mereka pun akan tetap menerima pelajaran sekalipun orangtua belum bayar uang sekolahnya. Masa iya sih, pesantren tega menelantarkan santrinya gara-gara telat bayaran? Apalagi pesantren itu terkenal keikhlasannya dalam menangani para santrinya.
Di era teknologi dan derasnya arus informasi,
televisi, gadget dan internet menjadi pengganggu terbesar dalam belajar
anak-anak di rumah. Di pesantren tidak ada televisi, anak-anak juga tidak
diperkenankan membawa gadget. Sekalipun ada internet, waktu
penggunaannya terbatas dan terkontrol. Dengan begitu anak-anak bisa belajar
dengan fokus karena gangguan-gangguannya diminimalisir. Apalagi ada ustadzah
yang mengawasinya. Anak-anak biasanya lebih takut dan manut dengan ustadzah
ketimbang orangtuanya sendiri.
Iya Pak Kyai, saya juga tidak ingin menyesal di kemudian hari melihat anak-anak jauh dari agama. Apalagi hidup di dalam sistem sekuler, yang memisahkan agama dari kehidupan. Agama hanya ada di masjid. Di luar masjid, hukum buatan manusia yang digunakan untuk mengatur kehidupan. Dalihnya, negara ini bukan negara agama. Aneh, memang. Apakah mereka tidak berpikir kalau bumi ini milik Allah?
Akibatnya sistem yang diterapkan adalah sistem kapitalis
yang menjamin kebebasan individu. Setiap individu bebas memilih agamam bahkan boleh
tidak beragama. Fatwa MUI dianggap bukan hukum positif jadi tidak perlu
diikuti. Kolom agama pada KTP dianggap tidak penting. Agama menjadi sumber
konflik, menurut mereka.
Setiap individu bebas berbuat sesukanya. Bebas berpakaian dengan aurat terbuka. Jika ada yang melarang dianggap melanggar HAM. Bebas berpacaran atau berzina. Tidak heran, jika kini hampir setiap hari ada berita perzinaan ataupun perselingkuhan. Tidak ada rasa malu lagi. Lalu, bagaimana saya bisa membiarkan anak-anak hidup tanpa pedoman agama yang kuat dalam kehidupan yang rusak ini?
Di dalam sistem kapitalis, setiap orang bebas untuk
memiliki harta tanpa memandang halal-haram. Bahkan boleh memiliki kekayaan yang
menguasai hajat orang banyak. Orang miskin semakin bodoh karena biaya sekolah semakin
besar. Hidup orang miskin semakin nelangsa karena tidak memiliki daya beli. Lapangan
pekerjaan semakin sempit, apalagi kini tergusur oleh tenaga kerja dari Cina. Lalu,
bagaimana anak-anak saya dapat menghadapi kondisi ekonomi yang semakin
menghimpit jika mereka tidak punya agama? Bisa jadi, semakin banyak orang yang berputus
asa dan berbuat nekat. Na’udzubillahi min dzalik.
Mengapa SAYA TEGA Melepaskan Mereka |
Betul Pak Kyai, jika anak tidak punya ilmu agama, mereka bisa lupa dengan surga. Mereka piker, hidup hanya di dunia saja, ketika mati selesai segala urusan. Itulah ajaran sekulerisme kapitalis. Di dunia hidup sesukanya, yang penting bahagia. Bahagia dengan mendapatkan sebanyak-banyaknya materi. Maka tidak heran, jika banyak yang menghalalkan segala cara untuk dapat hidup bahagia. Hukum rimba pun berlaku, yang kuat dan kaya yang berkuasa. Maka tidak heran, jika mereka saling berebut harta meski dengan saudara sendiri. Bahkan ada juga yang berebut harta dengan orangtuanya sendiri sekalipun orangtuanya sudah tua renta. Perasaan orangtua mana yang tidak sakit melihat hal seperti itu? Na’udzu billahi min dzalik.
Biarlah saya sedih sekarang, jauh dari mereka karena
mereka menuntut ilmu. Toh, jika saya kangen, rindu, saya masih bisa nengok
mereka. Berpisah dengan mereka juga tidak lama, setidaknya setiap liburan kita
bisa kumpul. Saya ikhlaskan mereka menuntut ilmu agama, karena itu juga bagian
dari perintah Allah yang harus dilakukan orangtua. Setidaknya jika anak-anak
punya ilmu agama, mereka punya rujukan. Mereka memiliki tempat kembali saat
tersesat di jalan. Inilah mengapa saya tega melepaskan mereka. Saya punya hujjah
ketika saya dimintai pertanggungjawaban terhadap pengurusan anak-anak kelak di
hadapan Allah. Aamiin
Tag :
PARENTING
0 Komentar untuk "Mengapa SAYA TEGA Melepaskan Mereka"