Ketika Calon Pemimpin Takut Hujan |
Oleh:
Ummu Alib
Ketika calon pemimpin takut hujan, ini fenomena yang kulihat
sekarang. Berbeda dengan yang kualami di masa sekolahku dulu. Ketika anak-anak terutama
yang di kota, enggan sekolah karena hujan. Mereka memutuskan tidak mau
berangkat sekolah karena ga mau kebasahan, dingin, ntar masuk angin dan
berbagai alasan lain. Yang buatku miris, seringnya itu didukung oleh orang tua
mereka. “ga usah sekolah aja ya nak, ntar kamu masuk angin, jadi malah
tambah banyak liburnya...”, itu diantara ungkapan para orang tua. Kecuali
mereka punya mobil, barulah anak-anak sekolah tanpa terlambat. Tapi jika hanya
punya motor atau tidak punya kendaraan, kalaupun berangkat sekolah, maka
pilihannya biar terlambat yang penting sekolah.
Berbeda dengan pengalaman masa
kecilku dulu. Apapun cuacanya, aku tetap sekolah. Bila pagi hari sudah turun
hujan, ibu sudah menyiapkan payung dan beberapa kantong plastik. Tasku
dimasukkan ke salah satu kantong plastik agar tidak basah sehingga buku-bukuku
tetap bisa dipakai belajar. Sementara kantong plastik yang lain untuk
melindungi kaki-kakiku. Ibu menyuruhku memasukkan masing-masing kakiku ke dalam
kantong plastik dan kemudian beliau ikat. Bisa dibayangkan bagaimana
penampilanku ke sekolah. Malu...pasti. Pernah aku menolak berpenampilan seperti
itu tapi ibu selalu menyemangatiku. Aku harus sekolah agar jadi anak pintar
karena ilmu adanya di sekolah. Walaupun malu, aku selalu berpenampilan seperti
itu bila hujan turun saat aku harus berangkat sekolah. Hingga aku SMA, aku
tidak pernah terlambat walaupun hujan deras.
Bukan hanya aku yang seperti itu, umumnya anak-anak sekolah di daerahku pada masa itu memang begitu. Hujan tidak menghalangi kami untuk berangkat sekolah. Padahal, walaupun sudah berpenampilan yang tertutup seperti itu, tetap saja kadang-kadang sepatu kami basah bahkan sampai kaos kaki. Celana atau rok sekolah pun sering juga ikut basah oleh air hujan. Kalau sudah begitu, kami mengikuti pelajaran sambil kedinginan. Kadang sepatu dan kaos kaki kami buka lalu kami jemur di tempat-tempat yang kering di luar kelas. Jadilah belajar tanpa alas kaki. Tapi para guru kami maklum atas apa yang kami lakukan. Bagi mereka yang penting anak-anak tetap sekolah, tidak terlambat sehingga tidak ketinggalan pelajaran.
Hasilnya, mental anak-anak dulu
dibandingkan anak-anak sekolah masa kini sangat jauh berbeda. Anak-anak
sekarang cepat ciut bila ada kendala. Tidak berani menyelesaikan kendala yang
dihadapai. Bila harus menyelesaikan kendala itu, pasti mengandalkan orangtua.
Ujung-ujungnya orang tua juga yang menyelasaikannya. Aku jadi berpikir,
bagaimana anak-anak ini menjalani hidupnya nanti. Bagaimana mereka
menyelesaikan masalah-masalah di dalam hidup mereka bila menerjang hujan ‘saja’
mereka tidak berani.
Namun, harus diakui kenyataan itu tak lepas dari peran orang tua yang membentuk mental itu. dari kecil anak sudah ditakut-takuti dengan hujan, bahwa hujan penyebab penyakit. Hujan penyebab pilek, demam dan batuk. Orang tua tidak mau direpotkan oleh anak yang sakit maka tidak sekolah atau terlambat sekolah menjadi pilihan untuk anak.
Padahal hujan itu adalah rahmat.
Dengan turunnya hujan, tanah yang kering menjadi basah, tanaman mendapatkan
sumber air untuk hidup, cacing dapat mencerna tanah lebih mudah sehingga dapat
menghasilkan tanah subur yang baik untuk tanaman. Karena hujan, debu-debu
berkurang bahkan udara menjadi bersih. Udara bersih baik untuk kesehatan
apalagi untuk anak-anak. Maka aneh, menurut saya, kita sebagai orang tua
menjauhkan anak-anak dari ilmu karena hujan. Hujan bukan penyebab demam, pilek
atau batuk. Kondisi itu muncul karena daya tahan tubuh anak kita yang menurun.
Bila daya tahan tubuh anak kita turun, apapun bisa menjadi penyebab demam,
batuk atau pileknya. Tapi bila daya tahan tubuhnya tetap baik, anak-anak kita
akan tetap sehat bagaimanapun cuaca di luar sana. Maka yang harusnya orang tua
lakukan adalah menjaga daya tahan tubuh anak dengan memberikan makanan yang
bergizi, olah raga dan vitamin bila diperlukan. Insya Allah, anak akan tetap
sehat walaupun terpapar air hujan.
Namun, bukan berarti kita biarkan anak kita pergi sekolah tanpa pelindung sehingga basah kuyup ketika mengukuti pelajaran. Bukan begitu! Tapi menyemangati anak untuk tetap sekolah dan tidak terlambat di saat hujan. Menyemangati anak untuk meraih ilmu walaupun hujan. Namun tetap memperhatikan ‘kenyamanan’ anak. Tentu tidak nyaman belajar sepanjang hari dengan pakaian yang basah. Maka kita bisa upayakan solusi-solusi lain. Seperti anak yang pergi ke sekolah dengan jalan kaki atau motor dipakaikan mantel yang tertutup dari kepala sampai kaki. Berangkat dengan sandal sementara sepatu dimasukkan ke dalam tas. Tentu tasnya juga telah tertutupi sesuatu yang melindunginya dari air hujan.
Bisa juga saat berangkat sekolah,
anak memakai pakaian rumah sementara baju sekolah disimpan di dalam tas anak.
Anak berangkat tetap dengan pelindungnya baik payung atau mantel. Setibanya di
sekolah, anak dapat berganti pakaian sehingga sepanjang hari mereka nyaman dan
konsentrasi menerima materi pelajaran.
Ketika Calon Pemimpin Takut Hujan |
Mungkin sebagian kita akan
mengatakan,”kasihan.....anakku. bawaannya jadi bertambah berat, belum lagi
buku-bukunya”. Mungkin kita lupa bahwa hujan tidak turun setiap pagi. Bahwa
hujan tidak turun setiap anak kita berangkat sekolah. Ini hanya situasional,
kadang-kadang. Inilah sebenarnya pembelajaran untuk anak kita bahwa dalam hidup
ini kadang kala kita dihadapkan pada pilihan yang berat tapi kita harus tetap
melakukannya.
Menurut saya, hal ini termasuk salah satu cara yang bisa kita lakukan dalam membentuk karakter dan mental pemimpin pada anak-anak kita. Mereka adalah calon pemimpin di masa depan. Mental pejuang, pribadi yang gigih dan fisik yang kuat merupakan beberapa kriteria seorang pemimpin. Itu akan terbentuk bila sudah kita asah sedari mereka kecil.
Tag :
PARENTING
0 Komentar untuk "Ketika Calon Pemimpin Takut Hujan"