YUK NYANTRI !

Yuk nyantri

Oleh: Evi Susanti

 
Tidak mudah bagi orangtua untuk mencari sekolah yang tepat buat anak-anaknya. Semakin banyak sekolah pilihan, terkadang malah bikin bingung memilihnya. Belum lagi bila pilihan orangtua ternyata berbeda dengan keinginan anaknya. Semakin sulit menentukan sekolah mana yang bagus!
Bagaimana sih kriteria sekolah yang bagus? Apakah sekolah yang memiliki gedung bagus? Sarana dan prasarananya lengkap? Guru-gurunya lulusan perguruan tinggi bonafid bahkan dari luar negeri? Program-programnya berskala atau berorientasi internasional? Itulah setumpuk pertanyaanku ketika mencari sekolah untuk si kembar (Qonita dan Salma).
Ya, setiap orangtua tentu saja menginginkan anak-anaknya mendapatkan pendidikan dari sekolah yang  bagus.  Di sisi lain, kini bermunculan sekolah-sekolah yang secara fisik bagus (dan mewah) serta menawarkan berbagai program unggulannya. Sebagian orangtua pun rela merogoh koceknya dalam-dalam demi mendapatkan sekolah  bagus atau unggulan bagi anak-anaknya.
Tentu saja sekolah-sekolah yang serba wah itu tidak cocok buat anak-anak saya. Belum melihat kedalaman isi program-programnya, secara matematis-ekonomis sudah bukan level kantongku. Melihat tongkrongan para walimuridnya juga bikin saya melipir duluan.
Memang tidak bisa dipungkiri, harga menjadi acuan untuk menilai kualitas suatu barang. Apalagi di era kapitalis ini. Sekolah pun sudah menjadi komoditas perdagangan. Ada harga, ada barang. Harga tinggi, barang pun berkualitas tinggi. Sehingga, sekolah bagus kerap diidentikkan dengan sekolah mahal.
Memang tidak bisa dipungkiri pula, fasilitas lengkap dan berkualitas di sekolah juga membutuhkan anggaran besar. Begitu pula guru-guru yang professional juga harus diapresiasi dengan kompensasi yang tidak kecil pula. Sekolah harus berani membayar mereka dengan gaji yang tinggi, agar mereka bisa fokus (mendidik) siswa-siswinya.
Akhirnya, persoalan sekolah anak kembali kepada diri kita masing-masing. Orangtua dan anak-anaklah yang menentukan kriteria sekolah mana yang paling tepat, bukan sekadar sekolah yang paling bagus fisiknya. Orangtua memiliki harapan, dan anak-anak memiliki cita-cita. Maka, saya dan anak-anak memiliki kriteria tersendiri. Apa kriterianya? Semoga uraian ini bermanfaat.

Pertama, sekolah harus berasaskan akidah Islam dan sesuai dengan tujuan pendidikan dalam Islam, yaitu mencetak manusia yang berkepribadian Islam, memiliki tsaqofah Islam, dan menguasai IPTEK. Kedua, sesuai dengan kebutuhan dan kondisi anak, yaitu potensi terbesarnya. Ketiga, sesuai dengan harapan orangtua yaitu agar anak hidup sukses mulia di dunia dan akhirat.
Saya berharap anak-anak memiliki kepribadian Islam yang paripurna. Kepribadian yang memiliki pola pikir Islami dan pola sikap Islami.  Pola pikir Islami adalah pola pikir yang menjadikan akidah Islam sebagai dasar berfikirnya. Dengan demikian, anak tidak akan mengeluarkan pemikiran yang bertentangan dengan akidah Islam. Nah, pendidikan yang menjadikan akidah Islam sebagai asasnya saya temukan di pesantren.
Pola sikap Islami adalah pola sikap yang menjadikan akidah Islam sebagai tolak ukur kecenderungannya dalam berbuat. Dengan demikian, anak akan berhati-hati dalam bersikap dan bertindak dengan berdasarkan akidah Islam. Pola sikap ini bisa dibangun dengan pembiasaan ibadah (membaca dan memahami Al-Quran, berpuasa, shalat-shalat sunnah, bersedekah, dan lainnya). Pembiasaan ibadah ini bisa didapatkan di lingkungan pesantren.
Di pesantren anak menjadi terbiasa membaca dan menghafal Al-Quran. Bahkan dibiasakan berbahasa Arab. Bahasa Arab adalah bahasa Al-Quran dan kunci tsaqafah Islam. Bahasa Arab menjadi sarana untuk menguasai tsaqafah Islam yang tertulis dalam kitab-kitab ulama salaf. Di pesantrenlah tempat yang paling efektif untuk menguasai bahasa Arab terutama pesantren menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa (percakapan) keseharian.
Di pesantren, anak hidup bersama teman-teman sebaya, kakak kelas dan adik kelasnya. Dia bertemu teman-teman yang beragam karakternya. Di sinilah, anak belajar bersosialisasi dan berkomunikasi. Kebersamaannya terbina dengan baik. Anak belajar berempati, tidak boleh egois. Mereka menjadi terbiasa berbagi. Berbagi tugas, dan berbagi makanan. Kebiasan baik ini bahkan ditempa dalam rentang waktu yang cukup lama, setidaknya 3 tahun di pesantren.
Yuk nyantri

Sebenarnya keberadaan pesantren banyak ragam. Ada pesantren yang tergolong mewah; semua keperluan santri disiapkan pihak pesantren. Anak hanya belajar. Tetapi, ada pula yang sangat sederhana, misalnya santri harus mencuci sendiri, bahkan ada harus memasak sendiri. Nah, di sinilah pilihan kita masing-masing sesuai dengan kondisi ekonmi dan selera yang ada.
Saya memasukkan dua anak (si kembar) di pesantren yang penuh dengan kesederhanaan. Santri mencuci pakaian sendiri, tetapi makan disiapkan pihak (dapur) pesantren. Mereka harus bisa mencuci pakaiannya sendiri. Padahal ketika di rumah mereka tidak terbiasa mencuci pakaiannya. Mereka pun harus bias mengatur waktu, kapan mencuci, istirahat dan belajar.
Kalau sakit bagaimana? Inilah yang saya khawatirkan. Di rumah mereka terbiasa diperhatikan dan dirawat sama saya. Di pesantren mereka harus tahan, tidak banyak mengeluh, dan ikut berinisiatif saat sakit. Memang ada bagian kesehatan yang bertanggungjawab. Tetapi yang bertugas juga santri yang relatif tidak punya banyak waktu seperti layaknya perawat atau orangtua dalam merawat si sakit. Karenanya, para santri menjadi lebih peduli dengan kesehatan teman-temanya.
Faktor komunikasi juga penting. Di pesantren anak harus mampu berkomunikasi dan mengelola emosinya. Frekuensi interaksi yang tinggi/sering di antara para santri mudah memicu perselisihan. Di sinilah santri belajar menyelesaikan setiap persoalan yang muncul. Kalau mereka tidak memiliki keterampilan itu, maka susah untuk bertahan di pesantren.
Aktifitas belajar di pesantren yang padat tidak pelak memicu stress pada anak. Di sinilah anak belajar untuk mengelola stressnya. Keterampilan mengelola stress dibarengi dengan berfikir positif,  menjadi modal utama dalam menjalani hidup di pesantren hingga akhir.
Teman yang berperangai buruk, usil atau nakal selalu buat masalah atau pengaruh buruk. Di sinilah anak belajar untuk bisa memilah teman. Semua teman harus dihargai, tetapi tidak semua teman bisa menjadi sahabat. Di sinilah anak berlatih mengambil keputusan dan memecahkan masalah dengan temannya secara mandiri.
Di pesantren anak belajar untuk menghormati yang lebih tua, termasuk para guru dan ustadz/ustadzahnya. Ketika ada konflik dengan mereka, anak harus bisa menyelesaikan konflik tersebut dengan ma’ruf.  Masalah-masalah yang muncul di pesantren akan membuat anak-anak lebih kuat dan tertempa menjadi pribadi yang lebih tangguh dalam kehidupan.
Pengalaman atau keterampilan hidup yang dimiliki anak-anak dari pesantren tersebut tidak ditemukan di sekolah pada umumnya. Di pondok pesantrenlah, anak-anak langsung mempraktikkannya dalam kehidupan mereka selama nyantri. Itulah keunggulan pesantren! Itulah mengapa, saya mengajak kepada anak-anak: Yuk nyatri!



Catatan:1) Untuk memberikan apresiasi SUKA (
LIKE), harap klik tombol SUKA sebanyak 2 kali. Karena klik ke-2 untuk KONFIRMASI -- Ya atau Tidak

2) Bila tertarik berbagi tentang pengasuhan dan pendidikan anak, silakan baca dulu ketentuan LOMBA MENULIS PARENTING 2017 berikut ini: https://lomba-menulis-parenting-2017.blogspot.co.id/2016/12/lomba-menulis-parenting-2017.html
Tag : PARENTING
0 Komentar untuk "YUK NYANTRI !"
Back To Top